Dulu.. Dulu Sekali
dulu.......dulu......sekali
Dulu.. dulu sekali.. saya tidak pernah terbayang tentang
kehadiran hari ini, situasi ini, orang-orang di sekitar saat ini,
kondisi fisik ini, dan lain sebagainya yang ada di hari ini.
Dulu.. tidak terbayangkan sama sekali. Ya.. semisal waktu kecil dulu, anggap lah saat usia 7 tahun, masih berseragam putih merah, apa pernah terbayangkan hari dimana diri ini jadi mahasiswi yang sedang menjalani detik-detik menuju sidang sarjana? Nggak sama sekali. Paling yang terbayang ya soal main. Juga saat bergeser ke zaman SMA, dimana di masa-masa itu, khususnya bagi saya, rutinitas anak gaul merupakan makanan wajib, saya berpikir.. apa pernah saat itu saya terbayangkan tentang hari ini? Tentang menjadi seorang penulis buku inspirasi, kemudian membedahnya keliling Indonesia, menyuarakan nilai-nilai positif di penjuru kota? Rasanya juga, hmm.. nggak sama sekali. Adapun cita-cita saat itu, ya inginnya jadi seorang entertainer yang memukau dan kaya raya. Hehehe.
Ah dunia.. sesungguhnya saya tidak pernah tahu apa-apa tentangmu. Semuanya misteri dan penuh kejutan. Yang dikejar justru hilang, sedangkan yang diabaikan justru mengejar balik. Ah dunia.. kamu lah tipuan yang melenakan. Membuat terpana sekaligus menjerat dalam jurang rasa hampa dalam waktu yang bersamaan.
Saya tidak berbangga. Sama sekali tidak. Dan seharusnya juga memang tidak. Pencapaian hari ini, apapun itu, kelak bisa berbalik 180 derajat, jika memang sudah ketetapannya demikian. Tidak ada yang akan konsisten selalu sama, sebab satu hal yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Saya hanya sedikit merenung. Renungan panjang yang mendadak terjadi ketika menyusuri Ruang Karya, sebuah ruangan yang sengaja dibangun di rumah sebagai area khusus untuk saya. Ya untuk menulis, untuk memajang buku-buku kesukaan, juga untuk menempatkan beberapa cinderamata dan artikel majalah yang entah bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya tertarik memuat perjalanan hidup saya. Ngomong-ngomong tentang Ruang Karya, ruangannya tidak besar, namun cukup untuk menyendiri. Maklum, di satu sisi yang tersembunyi, saya ini seorang introvert. Lebih mudah menghempaskan ide dan suara hati di kala sendiri. Bebas.. lepas.. dan menyenangkan. Saya punya dunia sendiri, katanya.
Di antara sekumpulan orang yang lebih muda, suara hati berujar “Wah.. umur sudah 23 tahun.” Tapi di antara sekumpulan orang yang lebih tua, suara hatinya beda lagi, “Ah.. umur baru 23 tahun.” Kata ‘sudah’ dan ‘baru’ itu menyiratkan bahwa segala hal di dunia ini nyatanya relatif. Sebut saja, cantik dan jelek. Beda lingkungan saja sudah beda penilaian. Candaan teman-teman semasa dulu sih.. kalau mau dianggap cantik, ya bertemanlah dengan yang biasa-biasa. Hehehe, pernyataan ini aneh. Pernyataan tersebut masih satu nafas dengan pernyataan bahwa kalau mau dianggap pintar, ya bergabunglah dengan orang-orang yang kepintarannya di bawah kita. Walah. Meski logis, tapi tetap saja tidak boleh pembenaran. Sebab mempergunakan kelemahan orang lain untuk mengangkat nilai diri adalah sebuah kepicikan. Tapi eits.. bukankah pernyataan tersebut semakin menguatkan bahwa penilaian di dunia ini nyatanya semua relatif.
Ternyata satu-satunya yang mutlak hanyalah iman. Bukan iman yang dinilai oleh mereka-mereka sesama manusia, melainkan iman yang dinilai oleh yang paling pantas melakukan penilaian. Dia, Yang Maha Kuasa, yang penilaiannya jauh menembus batas mikro dari seorang manusia, yaitu isi hati, atau qalbu. Nilai keimanan yang sesungguhnya, belum tentu tergambarkan dari apa-apa yang terlihat. Ya, iman tak bisa disimpulkan dari sekedar apa yang tampak. Karena kalau sebuah penilaian masih bersumber dari apa yang telihat, tentu penilaiannya menjadi relatif lagi. Nilai keimanan adalah mutlak, karena justru permulaan proses penilaianya adalah dari apa yang tidak tampak, dari apa yang tidak terjamah oleh indera, yang cukup memenuhi tiga syarat, yaitu: Diyakini dengan hati; Diucapkan dengan lisan; Diamalkan dengan perbuatan.
Ah dulu.. dulu sekali.. tak pernah terbayangkan saya akan berpikir seperti ini. Entah bagaimana ceritanya pola pikir masa kelam itu hilang. Seakan terhempas oleh satu kejadian besar yang meluluh lantahkan segalanya hingga menjadi puing-puing yang rata dengan tanah, tak berbekas. Karakter tak berubah, tetap ceria, lincah, dan senang berkarya. Hanya saja pola pikir yang berubah. Pola pikir itu kini tengah membentuk sebuah jalan lurus, sehingga menyatu dengan hati yang bernama fitrah. Selaras.
Perenungan sederhana di dalam Ruang Karya ini, seketika menghentakkan kesadaran bahwa ternyata banyak impian diri yang tak terlaksana. Sedih? Tidak sama sekali. Sebab yang tak terlaksana, nyatanya adalah yang memang tak sesuai dengan kehendak-Nya dalam membaikkan urusan kehidupan seorang hamba. Bukankah kesediaan diatur oleh Dia yang Maha Tahu adalah keberserahan diri yang terbaik?
Mengejar segala yang relatif akan membuat siapapun lelah karena rasa tak puas. Itulah hampa. Hampa bermula dari upaya habis-habisan, dalam mengejar cita-cita yang relatif. Maka.. bercita-citalah membangun sesuatu yang mutlak, yang akan menjadi pijakan kuat dalam menghadapi segala badai kehidupan. Ia bernama, iman. Mutlak.
Dulu.. dulu sekali.. jauh sebelum hari ini.. tak pernah terbayangkan, bisa mendekap erat sebuah keyakinan, bahwa ada Dia.. di dalam setiap langkah perjalanan.
Dulu.. tidak terbayangkan sama sekali. Ya.. semisal waktu kecil dulu, anggap lah saat usia 7 tahun, masih berseragam putih merah, apa pernah terbayangkan hari dimana diri ini jadi mahasiswi yang sedang menjalani detik-detik menuju sidang sarjana? Nggak sama sekali. Paling yang terbayang ya soal main. Juga saat bergeser ke zaman SMA, dimana di masa-masa itu, khususnya bagi saya, rutinitas anak gaul merupakan makanan wajib, saya berpikir.. apa pernah saat itu saya terbayangkan tentang hari ini? Tentang menjadi seorang penulis buku inspirasi, kemudian membedahnya keliling Indonesia, menyuarakan nilai-nilai positif di penjuru kota? Rasanya juga, hmm.. nggak sama sekali. Adapun cita-cita saat itu, ya inginnya jadi seorang entertainer yang memukau dan kaya raya. Hehehe.
Ah dunia.. sesungguhnya saya tidak pernah tahu apa-apa tentangmu. Semuanya misteri dan penuh kejutan. Yang dikejar justru hilang, sedangkan yang diabaikan justru mengejar balik. Ah dunia.. kamu lah tipuan yang melenakan. Membuat terpana sekaligus menjerat dalam jurang rasa hampa dalam waktu yang bersamaan.
Saya tidak berbangga. Sama sekali tidak. Dan seharusnya juga memang tidak. Pencapaian hari ini, apapun itu, kelak bisa berbalik 180 derajat, jika memang sudah ketetapannya demikian. Tidak ada yang akan konsisten selalu sama, sebab satu hal yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Saya hanya sedikit merenung. Renungan panjang yang mendadak terjadi ketika menyusuri Ruang Karya, sebuah ruangan yang sengaja dibangun di rumah sebagai area khusus untuk saya. Ya untuk menulis, untuk memajang buku-buku kesukaan, juga untuk menempatkan beberapa cinderamata dan artikel majalah yang entah bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya tertarik memuat perjalanan hidup saya. Ngomong-ngomong tentang Ruang Karya, ruangannya tidak besar, namun cukup untuk menyendiri. Maklum, di satu sisi yang tersembunyi, saya ini seorang introvert. Lebih mudah menghempaskan ide dan suara hati di kala sendiri. Bebas.. lepas.. dan menyenangkan. Saya punya dunia sendiri, katanya.
Di antara sekumpulan orang yang lebih muda, suara hati berujar “Wah.. umur sudah 23 tahun.” Tapi di antara sekumpulan orang yang lebih tua, suara hatinya beda lagi, “Ah.. umur baru 23 tahun.” Kata ‘sudah’ dan ‘baru’ itu menyiratkan bahwa segala hal di dunia ini nyatanya relatif. Sebut saja, cantik dan jelek. Beda lingkungan saja sudah beda penilaian. Candaan teman-teman semasa dulu sih.. kalau mau dianggap cantik, ya bertemanlah dengan yang biasa-biasa. Hehehe, pernyataan ini aneh. Pernyataan tersebut masih satu nafas dengan pernyataan bahwa kalau mau dianggap pintar, ya bergabunglah dengan orang-orang yang kepintarannya di bawah kita. Walah. Meski logis, tapi tetap saja tidak boleh pembenaran. Sebab mempergunakan kelemahan orang lain untuk mengangkat nilai diri adalah sebuah kepicikan. Tapi eits.. bukankah pernyataan tersebut semakin menguatkan bahwa penilaian di dunia ini nyatanya semua relatif.
Ternyata satu-satunya yang mutlak hanyalah iman. Bukan iman yang dinilai oleh mereka-mereka sesama manusia, melainkan iman yang dinilai oleh yang paling pantas melakukan penilaian. Dia, Yang Maha Kuasa, yang penilaiannya jauh menembus batas mikro dari seorang manusia, yaitu isi hati, atau qalbu. Nilai keimanan yang sesungguhnya, belum tentu tergambarkan dari apa-apa yang terlihat. Ya, iman tak bisa disimpulkan dari sekedar apa yang tampak. Karena kalau sebuah penilaian masih bersumber dari apa yang telihat, tentu penilaiannya menjadi relatif lagi. Nilai keimanan adalah mutlak, karena justru permulaan proses penilaianya adalah dari apa yang tidak tampak, dari apa yang tidak terjamah oleh indera, yang cukup memenuhi tiga syarat, yaitu: Diyakini dengan hati; Diucapkan dengan lisan; Diamalkan dengan perbuatan.
Ah dulu.. dulu sekali.. tak pernah terbayangkan saya akan berpikir seperti ini. Entah bagaimana ceritanya pola pikir masa kelam itu hilang. Seakan terhempas oleh satu kejadian besar yang meluluh lantahkan segalanya hingga menjadi puing-puing yang rata dengan tanah, tak berbekas. Karakter tak berubah, tetap ceria, lincah, dan senang berkarya. Hanya saja pola pikir yang berubah. Pola pikir itu kini tengah membentuk sebuah jalan lurus, sehingga menyatu dengan hati yang bernama fitrah. Selaras.
Perenungan sederhana di dalam Ruang Karya ini, seketika menghentakkan kesadaran bahwa ternyata banyak impian diri yang tak terlaksana. Sedih? Tidak sama sekali. Sebab yang tak terlaksana, nyatanya adalah yang memang tak sesuai dengan kehendak-Nya dalam membaikkan urusan kehidupan seorang hamba. Bukankah kesediaan diatur oleh Dia yang Maha Tahu adalah keberserahan diri yang terbaik?
Mengejar segala yang relatif akan membuat siapapun lelah karena rasa tak puas. Itulah hampa. Hampa bermula dari upaya habis-habisan, dalam mengejar cita-cita yang relatif. Maka.. bercita-citalah membangun sesuatu yang mutlak, yang akan menjadi pijakan kuat dalam menghadapi segala badai kehidupan. Ia bernama, iman. Mutlak.
Dulu.. dulu sekali.. jauh sebelum hari ini.. tak pernah terbayangkan, bisa mendekap erat sebuah keyakinan, bahwa ada Dia.. di dalam setiap langkah perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar